Renungan untuk suami-suami: Bila Istri Cerewet

Mac 15, 2008

Renungan untuk suami-suami: Bila Istri Cerewet

Adakah istri yang tidak cerewet? Sulit menemukannya. Bahkan istri Khalifah sekaliber Umar bin Khatab pun cerewet.

Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa. Menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun
terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkanistrinya pada Umar.

Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana,ia selalu tegas pada siapapun?

Umar berdiam diri karena ingat 5 hal. Istrinya berperan sebagai BP4. Apakah BP4 tersebut?

1. Benteng Penjaga Api Neraka

Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat.

Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan azab yang kelak diterimanya Ia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan akhirat.

Maka, ketika Umar terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari, bernyanyi dengan liuka yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.

2. Pemelihara Rumah

Pagi hingga sore suami bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai mejelang malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya. Mendapatkan uang, beli ini beli itu. Untunglah ada istri yang selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap
sia-sia Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran.

Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar ingat betul
akan hal itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena (mungkin) ia lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari semakin membebani.

3. Penjaga Penampilan

Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianannya, memilihkan apa
yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu

4. Pengasuh Anak-anak

Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salahdengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke
depan tak lepas dari sentuhan tangannya. Umar paham benar akan hal itu.

5. Penyedia Hidangan

Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami Cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur asam,sambal terasi danlalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam melambung; tadi bagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah-milih cabai dan bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa
takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah
berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.

Dengan mengingat lima peran ini, Umar kerap diam setiap istrinya ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya.Istri telah berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh
anak-anak, menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.

Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda.Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci makitak terpuji.

Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilakuUmar ini. Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya


Aku mahu tinggalkan dunia dalam sujudku

Mac 15, 2008

Aku mahu tinggalkan dunia dalam sujudku

SUATU malam ketika aku sedang nyenyak tidur tiba-tiba aku melihat seolah-olah ayahanda menjelma di hadapanku. Perasaan kasih pada ayahanda tidak dapat ditahan-tahankan lagi, lalu aku berteriak: “Ayah… sudah lama tiada berita dari langit sejak ayahanda tiada!”
Waktu itu aku terlalu rindu setelah beberapa hari ayahanda wafat. Ketika aku sedang memanggil-manggil ayahanda, muncul pula para malaikat bersaf-saf lantas menarik tanganku, membawa aku naik ke langit.

Apabila aku mendongak temampaklah istana-istana indah yang dikelilingi taman-taman pawana serta anak-anak sungai mengalir saujana mata memandang.
Keindahan istana demi istana dan taman demi taman berjajaran di hadapan mata begitu mengasyikkan. Dari celahan pintu-pintu istana tersebut menjelmalah para bidadari seolah-olah patung bernyawa yang sangat jelita, sentiasa tersenyum dan bergelak ketawa. Bidadari itu berkata kepadaku: “Selamat datang wahai makhluk yang diciptakan syurga untuknya, dan kerana ayahanda kamu, kami diciptakan…”
Malaikat itu terus membawa aku naik ke langit seterusnya sehingga memasuki sebuah tempat yang dipenuhi istana-istana yang lebih indah daripada sebelumnya. Cahayanya bergemerlapan.
Dalam setiap istana itu terdapat rumah-rumah berisi pelbagai perhiasan indah yang belum pernah dilihat mata, tidak terdengar di telinga dan tidak pernah tersirat di hati.
Penghuni istana-istana ini sentiasa bergembira, bergelak ketawa dan ceria. Di istana itu terdapat pelbagai kain sutera nipis dan tebal. Juga terdapat selimut-selimut daripada sutera dengan pelbagai warna dan corak.
Di atas rak-rak kelihatan pelbagai jenis gelas diperbuat daripada emas dan perak yang sungguh menawan. Pelbagai jenis hidangan makanan, buah-buahan serta air minuman yang lazat dan enak tersedia untuk dimakan. Pemandangan di taman-taman pula sungguh memukau dengan aliran sungai yang warnanya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu dan baunya lebih semerbak daripada kesturi.
Aku yang kehairanan dan takjub lantas bertanya: “Untuk siapakah tempat-tempat indah sebegini dicipta? Apa nama sungai-sungai yang harum mewangi ini?”
Malaikat-malaikat itu menjawab:
“Tempat ini adalah Firdaus, tempat paling tinggi dan tiada lagi syurga di atasnya. Syurga Firdaus ini khas untuk singgahsana ayahandamu, semua rasul, nabi, para syuhada dan syiddiqun yang dicintai Allah. Sungai ini bernama al-Kautsar yang telah Allah janjikan kepada ayahandamu.”
Aku bertanya lagi: “Di mana ayahandaku?”
Malaikat-malaikat menjawab: “Sebentar lagi ayahandamu akan datang menjemputmu!”
Tidak lama kemudian aku ternampak istana-istana yang sangat putih dan permaidani yang tersangat indah. Tiba-tiba aku sudah berada di atas permaidani yang terbentang di atas singgahsana. Aku ternampak ayahandaku sedang berehat di atas singgahsana tersebut dikelilingi sekelompok orang yang tidak dikenali. Ayahanda menarik tanganku dan mencium dahiku berkali-kali.
Ayahanda berkata: “Selamat datang wahai puteriku!”
Lalu ayahanda meletakkan aku di atas pangkuannya dan berkata lagi:
“Wahai puteriku, tidakkah engkau lihat apa yang telah dijanjikan Allah kepadamu dan yang akan engkau perolehi?”
Ayahanda menunjukkan istana-istana yang disaluti bermacam-macam hiasan yang indah menawan serta berkilau-kilauan, saujana mata memandang. Ayahanda berkata: “Inilah tempat tinggalmu, kediaman suamimu, kedua-dua anakmu serta orang-orang yang mencintaimu dan mencintai mereka. Bergembiralah… engkau akan mengikut ayahanda datang ke sini beberapa hari lagi…”
Aku berkata: “Kalau begitu senanglah hatiku dan bertambah rindu pada ayahanda.”
Selepas berjumpa beberapa ketika dengan ayahanda, aku terjaga. Tubuhku menggigil dan terasa takut yang amat sangat. Aku masih teringat-ingat bisikan ayahanda. Aku akan mengikut langkah ayahanda beberapa hari lagi. Aku masih ingat ayahanda berkata perkara yang sama sebelum wafat. Ayahanda pernah membisikkan bahawa akulah orang pertama yang menyahut panggilan Ilahi selepasnya.
Sejak hari ayahanda wafat lagi aku selalu menangis dan bersedih. Perasaan sedih makin terasa selepas bermimpi bertemu ayahanda. Aku tahu tidak lama
lagi aku akan meninggalkan dunia fana ini untuk bersama ayahanda tercinta di akhirat yang kekal, aman dan sentosa.
Aku menceritakan mimpi tersebut pada suamiku dan juga pembantuku Asma binti Umays. Aku beritahu saat ajal hampir tiba. Asma menunjukkan pelepah kurma basah untuk membuat usungan seperti yang dilihat dibuat di Habshah.
Aku tersenyum apabila melihat keranda itu. Aku berwasiat supaya jenazahku nanti dikebumikan pada malam hari agar tiada seorang pun yang marah apabila melihat jenazahku. Aku juga meminta suamiku supaya menikahi Umamah, saudara perempuanku. Umamah menyayangi anakku seperti aku menyayangi mereka.
Setelah merasa saat ajal hampir tiba aku membawa dua orang anakku menziarah makam ayahanda. Tubuhku terasa sangat lemah untuk memijak. Tapi aku gagahi juga untuk bersembahyang dua rakaat antara mimbar dan makam ayahanda.
Tidak lama lagi jasadku akan berpisah dengan roh. Aku akan meninggalkan dua puteraku. Lalu aku peluk dan cium kedua-duanya bertubi-tubi. Sayang, ibumu terpaksa pergi dulu…
Selamat tinggal sayangku, puteraku dan suami tercinta. Biarlah aku menghadap Ilahi tanpa tangisan sesiapa. Aku tidak sanggup melihat tangisan puteraku dan suamiku. Biarlah mereka berada di sisi makam ayahanda dan suamiku bersembahyang. Kalau boleh aku mahu tinggalkan dunia ini dalam bersujud pada Ilahi.
Aku terus meninggalkan dua puteraku dan membiarkan suamiku bersembahyang di masjid. Aku mengambil ramuan hanuth, sejenis pengawet mayat yang ayahandaku biasa gunakan. Aku siramkan air ramuan itu ke seluruh tubuhku. Kemudian aku memakai kain sisa kapan ayahandaku. Selepas itu sekali lagi aku memanggil Asma binti Umays yang sentiasa mengurus dan merawatku.
Pada Asma aku berpesan, “Wahai Asma, perhatikanlah aku. Sekarang aku hendak masuk ke rumah membaringkan tubuhku sekejap. Jika aku tidak keluar, panggillah aku tiga kali dan aku akan menjawab panggilanmu. Tetapi jika aku tidak menjawab, ketahuilah aku telah mengikut jejak langkah ayahandaku!”

Setelah sejam berlalu, Asma memanggil-manggil nama wanita itu tetapi tiada sebarang jawapan. Ketika penjaga itu masuk, dia terkejut apabila melihat wanita kurus cengkung itu meninggal dunia dalam sujudnya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…

***********
Aku dalam cerita di atas ialah Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah dengan isteri pertamanya Siti Khadijah. Fatimah meninggal dunia dalam usia 28 tahun setelah 40 hari Rasulullah s,a.w. wafat dan jenazahnya dimakamkan di perkuburan Baqi’ di Madinah. Masih adakah wanita solehah seperti Fatimah di zaman moden ini?


Kisah Tukang Masak

Mac 15, 2008
Al-kisah..
Tersebutlah kisah seorang tukang masak yang sangat rajin memasak. Pada satu hari, dia telah menyediakan pelbagai masakan yang lazat-lazat & sedap-sedap & best-best utk tetamu yg bertandang ke rumahnya.
Sesudah menghidangkan makanan di meja makan, dia pergi menjenguk ruang tamu untuk menjemput tetamunya makan. Sekembalinya ke meja makan, alangkah terkejut besarnya si pemuda kerana kesemua masakannya yang best-best tu dah hilang. Tetamunya bertanya, ~{!0~}mana perginya semua hidangan tu?~{!1~}
Ke mana perginya semua masakan-masakan tadi? dilarikan kucing barangkali~{!-~}
Kita boleh umpamakan ~{!0~}masakan-masakan~{!1~} dalam cerita di atas sebagai amal-amal ibadat kita selama ni.
Di hari Akhirat nanti, kita semua pastinya akan dibicarakan di hadapan Allah swt, atas segala perbuatan baik & buruk kita semasa hayat di dunia.
Sekarang, mungkin kita rasa sudah banyak amal-amal baik yang ~{!0~}best-best~{!1~} sudah terkumpul untuk ~{!0~}dihidangkan~{!1~} kepada Allah di akhirat kelak.
Namun, apa yang berlaku adalah, ketika di hadapan Allah, alangkah terkejut besarnya kita bila tersedar bahawa TIADA SATUPUN AMAL KEBAIKAN yang ada untuk dipersembahkan kepada Allah. Kerana tanpa kita sedari, semua amalan baik yg kita kerjakan itu, telahpun hilang, terbatal & tidak dikira sejak di dunia lagi (kerana melakukan dosa-dosa kecil & besar, ataupun kerana tidak ikhlas dalam melakukan amal kebaikan kepada Allah swt). Nauzubillah min zalik.
Renung-renungkanlah~{!-~} semoga kita sentiasa bermuhasabah terhadap perbuatan & amalan diri kita, dan memperbanyakkan amalan-amalan kebaikan dengan sebenar-benar ikhlas kepada-Nya. Bagi yang ingin bertaubat, percayalah bahawa pahala daripada amalan baik itu akan menghapuskan dosa daripada amalan buruk yang dilakukan.
Sesungguhnya, Tuhan Maha Mengampuni lagi Maha Mengasihani.
Wallau~{!/~}alam.